Oleh: Saprina Siregar
Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan USK dan Praktisi Sekolah Inklusi
Dua puluh tahun telah berlalu, mengenang kembali tragedi maha dahsyat yang terjadi pada 26 Desember 2004. Hari itu, bumi Aceh dan beberapa wilayah lain di dunia diguncang oleh gempa dahsyat yang disusul tsunami, menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Mengingat kembali saat itu, rasanya tidak pernah terbayangkan bahwa kini kita dapat menjalani hidup dan merayakan kebahagiaan bersama sanak keluarga.
Dua dekade bukanlah waktu yang singkat, namun peristiwa pada Minggu pagi itu masih melekat dalam ingatan. Terbayang bagaimana seorang ibu berlari menyelamatkan diri, seorang anak yang terpisah dari keluarganya dan seorang suami yang tak dapat lagi melindungi istri dan anaknya. Semua berubah dalam sekejap tidak ada lagi kesempatan memberi aba-aba atau mengatur langkah bersama yang ada hanyalah pikiran untuk menyelamatkan diri masing-masing. Allah mengambarkan dalam al Quran:
"Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar"(Al-Baqarah: 155).
Hari ini, kita merenungkan pelajaran apa yang dapat dipetik dari tragedi tersebut. Sisa-sisa luka mulai terkikis, meski lambat. Di antara simbol yang masih tertinggal adalah kapal apung di Banda Aceh yang terbawa arus tsunami dan Museum Tsunami yang kini menjadi tempat wisata dan refleksi bagi masyarakat. Tempat ini mengingatkan kita akan kisah pilu 20 tahun silam.
Pagi ini gema zikir dan doa terdengar dari masjid-masjid, mengalun untuk para korban tsunami. Ziarah ke kuburan massal dilakukan meski tanpa kepastian apakah di sana bersemayam sanak keluarga yang hilang dan hingga kini belum ditemukan makamnya. Ritual ini adalah bentuk penghormatan tetapi cukupkah itu untuk mengambil pelajaran dari peristiwa dua dekade lalu? Jawabannya tidak.
Di rumah, tsunami akhlak turut menyerang, orang tua merasa cukup dengan mencari nafkah, mengumpulkan uang, dan memberikan fasilitas terbaik bagi anak. Pendidikan agama diserahkan kepada sekolah terbaik, pesantren-pesantren terkenal, sementara pendidikan akhlak dianggap cukup dengan mendengarkan ceramah-ceramah di media sosial atau pengajian-pengajian. Padahal, tsunami akhlak memerlukan pertahanan yang kokoh dari keluarga, terutama peran aktif orang tua sebagai pemeran utama dalam pembentukan karakter anak.
Renungan 20 tahun setelah tsunami adalah kembali pada kesalehan kepada Allah, dibarengi dengan kesalehan sosial. Tidak ada yang mampu menghalau tsunami akhlak dan etika selain kedua orang tua. Mari kembali ke rumah jadilah tembok yang kokoh agar seberat apa pun gelombang tsunami akhlak yang menerpa, ia tidak mampu menembus benteng keluarga. Sebab, kelekatan orang tua dan anak-anaknya tidak bisa digantikan oleh kelekatan anak dengan guru, ustazah.
Keluarga adalah unit pertama yang membentuk fondasi kehidupan seseorang. Sebagai tempat utama untuk pendidikan dan pengasuhan, keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak generasi yang berkualitas. Dalam konteks ini, keluarga diibaratkan sebagai pondasi yang kokoh bagi terciptanya berbagai profesi dan peran dalam masyarakat, seperti guru, ulama, pemimpin, dokter, profesor, pengusaha, direktur, dan seniman. Setiap profesi ini membutuhkan karakter yang kuat, keterampilan, dan pengetahuan yang baik, yang semuanya dimulai dari pendidikan dan nilai-nilai yang diterima di dalam keluarga. Oleh karena itu, keluarga harus menjadi tempat yang mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang baik kepada anak-anak mereka.
Selain itu, peringatan 20 tahun tsunami harus dijadikan refleksi untuk kita semua. Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 bukan hanya sekadar peristiwa alam, tetapi juga mengingatkan kita tentang ketidakberdayaan kita dalam menghadapi musibah besar. Tsunami ini dapat dipahami sebagai simbol dari ketidakmampuan kita untuk membedakan kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakpedulian terhadap moralitas, pengambilan keputusan yang keliru, atau ketidakjujuran dalam berbagai aspek kehidupan dapat menyebabkan kerusakan yang tak terbayangkan, seperti halnya tsunami yang datang begitu mendalam dan menghancurkan.
Oleh karena itu, peringatan ini mengajak kita untuk lebih bijaksana dalam membedakan antara yang baik dan yang benar. Musibah tsunami mengingatkan kita bahwa kita harus lebih introspektif dan berusaha untuk memperbaiki diri. Ini adalah kesempatan untuk memperkuat akhlak dan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih siap dan bijaksana, serta menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga penuh integritas.[]